Kesaksian Hidup - My Precious Life (Bag 1 - Hidup Karena Anugerah) - Dikasihi.id

Halaman

My Precious Life - Selvi Pritawati Sudarlin
My Precious Life - Selvi Pritawati Sudarlin
Disadur dari Buku "My Precious Life" oleh Selvi Pritawati Sudarlin. 
Editor : Lamsihar Iruel

"Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." (Mazmur 139:14)

Kalau ada yang bertanya: "siapa yang mau lahir sebagai seorang yang cacat?" sudah jelas jawabannya "TIDAK"  semua orang ingin lahir dengan fisik yang sehat, semua ingin terlahir dengan hidup yang bahagia, berkecukupan dan tanpa ada air mata.


Namun hidup tidak bisa di atur orang sesuai dengan keinginannya sendiri.  Karena hidup milik Tuhan yang menciptakan manusia, Dialah yang berkuasa atas segala kehidupan.


Semua orang tentu saja mempunyai kisah hidup. Tapi ada banyak orang yang lari dari kehidupan karena kecewa dengan kisah hidup mereka yang tidak sesuai dengan keinginan hati mereka. Itu termasuk saya sendiri, yang pernah mengalami kekecewaan dalam hidup. Saya merasa bahwa hidup yang saya jalani tidak lebih dari kesedihan, penderitaan, kesakitan dan penolakan. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena hidup yang saya jalani jauh dari kata indah. Namun akhirnya saya mengerti bahwa rancangan Tuhan itu baik buat hidup saya, dalam semuanya ini Tuhan ingin bahwa kisah hidup saya menjadi penghiburan bagi
bahwa kisah hidup saya menjadi penghiburan bagi banyak orang yang sedang mengalami kekecewaan dalam hidup. Saya sendiri sungguh bersyukur untuk apa yang telah Tuhan kerjakan dan hidup saya.
Inilah kisah ku.


Selvi Pritawati Sudarlin
21 April 1990 aku terlahir ke dunia ini, aku adalah bayi perempuan yang cantik, sehat dan harta terindah yang di nantikan kedua orang tua ku yang kala itu telah kehilangan kedua anak mereka ketika mereka masih bayi. Melihat ku terlahir dengan sempurna merupakan penghiburan yang luar biasa buat mereka. Dan hanya kebahagiaan yang memenuhi hati mereka kala itu. Kisah kebahagiaan itu sebenarnya adalah awal dari kisah perjuangan hidup yang panjang dan melelahkan.. Bayi perempuan cantik ini pun mereka beri nama Selvy Pritawati Sudarlin. Nama seorang wanita yang mereka harapkan bisa menjadi wanita hebat dan tegar.
Aku lahir di desa belibi. Sebuah desa kecil di kalimantan tengah. Desa yang jauh dari kata modren. Tak ada rumah sakit dan fasilitas lainnya.


Saat itu papa sedang menantikan SK sebagai seorang
Saat itu papa sedang menantikan SK sebagai seorang guru SD, dan masih mencoba bekerja di sebuah perusahaan kayu milik korea waktu itu. Dan mama hanya ibu rumah tangga biasa. Namun impian mereka besar untuk hidup ini. Mereka ingin yang terbaik untuk hidup ini.
Namun, di tengah impian Indah itu, badai jahat datang dan meniup mimpi itu jauh-jauh.


Di usia 8 hari lahirku, ada yang aneh dengan keadaan ku. Dari pagi hari di atas bibirku membiru, lalu kemudian menyebar keseluruh tubuhku, aku pun di serang kejang-kejang. Kemudian menangis, mama berkisah, keadaan ku terus begitu. Hingga akhirnya tak lagi bernafas selama kurang lebih 1 hari 1 malam. Semua orang yang berada di sana saat itu setuju bahwa bayi perempuan cantik itu telah mati. 


Doa penyerahan pun mulai di ucapkan. Gong tanda kematian mulai dipukul agar seluruh warga desa tahu bahwa ada duka di desa mereka. Kesedihan datang lagi dalam hidup orang tuaku. Baru sekejap rasa bahagia mereka karena mendapat dan menimang si buah hati, mereka harus kembali berduka dan hancur hati karena kehilangan dan kehilangan lagi. Hidup rasanya benar-benar tidak adil bagi mereka. Di tengah duka itu mereka telah kehilangan harapan.

Air mata tak lagi mampu menggambarkan kesedihan itu hanya bisa pasrah. Karena dengan menangis pun tak dapat membuat bayi mereka kembali bernafas. Kakek ku sangat sedih, karena cucu perempuan pertamanya sudah tiada. Saat itu semua hanya dikuasai oleh kesedihan.


Namun ada sesuatu yang tidak terduga terjadi pada saat itu. Entah apakah pintu Surga itu masih tertutup untuk ku, entah apakah aku belum pantas menikmati Surga, entahlah...
Namun saat itu aku tiba-tiba saja menangis, dan hidup kembali. Dan mama langsung menyusui ku. Senyum pengharapan kembali hadir di bibir mama dan papa.


Ya, aku hidup kembali tapi dengan keadaan yang berbeda, aku yang tadinya adalah bayi montok yang cantik, berubah menjadi seperti bayi monyet. Badanku menyusut dan kurus. Sampai-sampai mama takut melihat keadaan ku yang seperti itu. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi pada ku saat Itu. Karena di desa kecil yang terpencil seperti itu tak ada dokter spealis, atau pun rumah sakit hebat seperti di kota, yang ada hanyalah mantri atau perawat yang hanya menolong sebisanya saja. 


Bukan sengaja membiarkan keadaan ku seperti itu. Tapi apa yang bisa dibuat pada saat sulit seperti itu? Untuk bisa makan saja mama dan papa harus bantng tulang dan bekerja keras. 


Untuk beberapa waktu kondisi ku dibiarkan seperti itu, karena memang keadaan yang serba sulit saat itu.. Keadaan ku seperti mayat hidup, hanya bisa menangis, tubuh ku yang kaku membuat ku tidak bisa bergerak. Aku tak seperti bayi-bayi lainnya.


Berhari-hari mama dan papaku terus memantau keadaan ku, namun tak ada perubahan tanda perkembangan motorikku. Aku hanya bisa berbaring dengan tubuh ku yang kaku.
Berbulan-bulan terus begitu tak juga ada perkembangan seperti bayi berumur 4 atau 5 bulan pada umumnya yang sudah bisa memegang mainan. Namun tidak, tangan dan kakiku selalu dalam keadaan yang keras dan kaku. Yang aku bisa hanyalah menangis, menangis dan menangis.


Sebagai seorang ibu mama bertanya-tanya dengan hati yang hancur, "apa salahku? Kenapa ini terjadi pada ku?" saat itu mama benar-benar kecewa pada Tuhan, selama 1 tahun mama tidak mau ke gereja. Mama benar-benar menutup diri dari lingkungan sekitar. Karena beban itu dirasanya terlalu berat.


Tak hanya itu orang tuaku harus menerima pengucilan dari keluarga, seolah sendiri tak ada yang peduli. Entah mengapa saat itu orang tuaku di suruh untuk segera pindah dari rumah kakekku. Ada yang mengasut, tapi sampai hari ini aku masih tidak mengerti mengapa mereka bersikap demikian pada orang tuaku.  Hidup benar-benar tidak berpihak pada kami. Jangankan memberi bantuan materi ataupun sekedar memberi dorogan semangat.


Orang tuaku malah mendapatkan penghinaan dan direndahkan, serendah-rendahnya. Pernah suatu kali salah seorang dari mereka datang ke rumah kami, berkata sambil bertawa, "anakmu ini tidak waras,. Kalau aku jadi kamu, sudah aku buang ke sungai." dia tertawa dan pergi meninggalkan mamaku. Hati seorang ibu yang mana yang tahan dengan perkataan seperti itu? 

Saat itu papa dan mama pindah ke sebuah pondok kecil yang hanya berdinding kulit kayu, kalau zaman sekarang mungkin lebih cocok untuk kandang ayam. Sebuah pondok yang jauh dari kata layak untuk menjadi tempat tinggal. Namun di situlah papa dan mama merawatku. 


Tidak mudah hidup menjadi orang miskin, apalagi dengan keadaan anak yang sakit. Kadang mereka tidak punya beras untuk makan, tapi mereka tidak diam berpangku tangan,  papa mencari ke hutan, apa pun yang bisa di makan, rebung, singkong dan daunnya, untuk lauk papa mencarinya di sungai dengan memancing atau pun menjala,. Yang penting bisa untuk menyambung hidup hari ke sehari. Hidup kami benar-benar hanya karena anugerah Tuhan saja.
Aku yang masih bayipun mau tidak mau hanya makan singkong rebus saja. Tapi mama bercerita pada ku aku lahap sekali memakannya. 


Papaku seorang yang gigih berjuang mencari uang, apa pun pekerjaannya papaku lakukan. Semua itu untuk membawaku ke Pangkalan Bun untuk berobat. Termasuk menjadi tukang bangunan, membuat rumah orang, walau kadang dicurangi dengan dibayar tidak sesusai dengan perjanjian. Namun papa tidak menyerah, semua demi aku.


Papa selalu berharap agar SK nya cepat keluar dan cepat bekerja sehingga cepat mendapatkan dan cepat bekerja sehingga cepat mendapatkan gaji agar bisa membawa ku berobat ke RS di kota Pangkalan Bun. Namun saat itu nasib seolah di permainkan orang. Sering kali papa di suruh untuk memperbaharui berkasnya. Dan SK itu belum juga di keluarkan. Setelah  Lama sekali SK itu di keluarkan, akhirnya papa mendapatkannya juga, dan papa bekerja sebagai seorang guru SD di desa Bayat. Namun ternyata gaji guru kala itu sangat kecil, papa hanya mendapatkan gaji sebesar RP 60.000 saja setiap bulannya. Dan dengan uang yang seadanya itulah mama dan papa membawa ku kota Pangkalan Bun dengan harapan bahwa buah hati mereka bisa di sembuhkan. Ketika sampai di Pangkalan Bun, saat itu mereka tidak punya kendaraan, ingin naik ojek atau angkot pun uang mereka tidak cukup, belum lagi untuk makan dan minum selama berada di Pangkalan Bun, tentunya tidak sedikit. Untuk mencapai rumah sakit, mereka hanya berjalan kaki. Sambil bergantian menggendongku. Walau melelahkan mereka terus berjalan.


Dan akhirnya mereka pun sampai di rumah sakit, kebetulan saat itu ada dokter ahli saraf  yang berasal dari Pakistan ( saya tidak tahu nama dokter itu) setelah menjalani pemeriksaan akhirnya aku pun di vonis terkena radang selaput otak. Otak sebelah kiri katanya rusak, dan saraf keseimbanganku tercepit, dan juga ada darah beku di otak ku, tidak hanya itu, dan juga ada darah beku di otak ku, tidak hanya itu, aku juga divonis akan mengalami kebutaan pada mata kananku di usia 10tahun . dokter itu menyarankan agar saya di terapi.


Dan entahlah, dengan keadaan ekonomi orang tuaku saat itu rasanya sangat sulit dan mustahil. Biaya obat ku saja sudah RP . 250.000 per bulannya, belum lagi kalau harus di terapi, mereka juga harus mengeluarkan uang untuk membeli keperluan hidup sehari-hari, dengan gaji papa yang hanya 60 ribu. Namun orang tua ku bukan orang yang mudah menyerah. Ketika di terapi, mereka sengaja melihat bagaimana cara terapi untuk ku, dan mereka mempelajarinya lalu mempraktekannya di rumah. Dan aku pun hanya 1 atau 2 kali saja di terapi di rumah sakit, selanjutnya mama dan papa ku yang melakukannya.

Setiap hari sebelum berangkat mengajar terlebih dahulu papa menterapiku. Supaya tangan, kaki, dan tubuh ku bisa bergerak seperti anak-anak yang lain. Hanya itu impian mereka supaya putri kecilnya bisa sembuh, sehingga bisa bermain seperti anakanak yang lain yang tidak harus merasakan sakitnya penderitaan. Di tengah kesendirian dan pengucilan, serta kesulitan hidup, mereka terus merawatku, mengobati ku dengan terus bekerja keras, entah itu menjadi tukang yang membantu menyelesaikan rumah orang, atau pun menjual apa pun yang mereka punya. Karena bagi mereka putri kecil mereka adalah punya. Karena bagi mereka putri kecil mereka adalah harta yang sangat berharga dan mereka tidak mau kehilangannya. 


Orang tidak memperhitungkan kami, mama kadang pergi ke rumah orang penjual ikan atau daging, namun mereka menolak dan berkata "ikannya sudah habis" tapi kemudian datang orang lain lagi ingin membeli ikan mereka, ternyata mereka masih  mempunyai banyak ikan. Mereka takut mama tidak bisa bayar ikan itu, padahal mama membawa uang yang cukup, tapi mereka pikir mama tidak punya uangnya.
Di tengah kesulitan hidup memang pernah berpikir untuk mencari pertolongan, tapi pada siapa?  Kakek dan nenekku, ke dua orang tua dari papa dan mama juga mengalami kesulitan hidup. Di tambah lagi kakek (papa dari mama) sakit keras, dan perlu pengobatan, kakek ku terkena strok dan lumpuh separo tubuhnya. namun tidak lama kakek menderita sakit. Tuhan berkehendak lain, kakek harus pergi pulang ke rumah Bapa di surga. Waktu itu umurku baru tujuh bulan. Hati mama bertambah hancur saat itu. Karena harus kehilangan seorang ayah secepat itu. Seorang ayah yang selalu membelanya kini telah tiada. Di saat mama sangat membutuhkan kekuatan dan dukungan darinya agar mampu menghadapi semua kesulitan itu,
darinya agar mampu menghadapi semua kesulitan itu, kakek tiada lagi.


Tak ada lagi tempat bagi mama untuk mengadu sekedar mengurangi beban hidup yang berat dalam batin.
Hidup kami bagaikan tidak pernah ada. Sepertinya tidak ada lagi kasih untuk kami. Yang ada hanyalah penghinaan. Banyak ibu melarang anaknya agar tidak dekat-dekat dengan ku karena takut ketularan penyakitku. Ada juga yang tanpa perasaan berkata "anak hundin ne balang be..." (anak kalian ini gila ya) namun mama tidak peduli dengan perkataan orang lain dan terus berjuang merawatku. Saat itu mama melatih ku duduk. Dengan memakai peralatan rumah tangga yang sederhana. Mama memakai baskom, dan juga bantal-bantal untuk penyangga badanku. Leher ku tidak bisa tegak, karena sangat lemah. Keadaan seperti ini juga berlangsung lama, namun aku tetap di latih untuk bisa duduk sendiri. Walau pun setiap hari ada saja orang yang mengejek. Aku di katakan seperti ayam yang sedang bertelur. Namun bagi mama keadaan ku harus lebih baik. Setidaknya aku bisa mandiri, dan mengurangi penderitaan ku.


Hidup dalam kesedihan seperti sudah biasa kami lewati bersama, tapi semua itu tidak pernah melemahkan mama dan papa. Walau usia mereka masih muda saat itu, walau mereka hanya tahu sedikit tentang Tuhan, dan Walau mereka ditinggalkan tentang Tuhan, dan Walau mereka ditinggalkan sendirian namun impian mereka untuk mendapat hidup yang lebih baik terus mereka perjuangkan. 


Ku renungkan hidup ini hanya karena anugerah Tuhan saja. TanpaNya tidak mungkin kami sanggup menjalani kehidupan yang penuh perjuangan ini.


Aku bisa seperti sekarang ini, karena Tuhan yang menyertai perjuangan orang tuaku dalam merawatku.
Perjuangan papa dan mamaku dalam merawatku tidak bisa ku bayar dengan materi seberapa pun itu. Semua sangat mahal dan tidak mungkin lunas. 


Namun semua mereka anggap lunas, dengan kesehatanku, semangat hidupku, dan senyumanku dalam aku menjalani hidupku setiap hari. Semua itu sangat berharga bagi mereka dan mereka akan terus memperjuangkan semua itu sampai nafas terakhir berhembus.


Sampai kapan pun aku ini tidak akan bisa membalasnya.
Tak ada lagi cara untuk menghargai perjuangan orang tuaku, selain dengan semangat dan senyumanku
tuaku, selain dengan semangat dan senyumanku disetiap hari-hariku. Sampai Tuhan memanggilku. Karena semua itu adalah kekuatan hidup bagi mereka.  


Menuliskan ini sebenarnya membuat ku tidak bisa menahan air mata yang jatuh. Namun inilah hidup ku, dan aku ingin terus melanjutkan menulisnya karena aku ingin berbagi semangat hidup ku. Agar semua yang membaca kisah hidup ku bisa menerima hidup mereka dengan ucapan syukur, dan tidak mudah menyerah dalam memperjuangkannya, seberat apa pun tantangan itu. 


Percayalah Tuhan menjadikan hidup kita dahsyat dan ajaib, dan kau akan bangga ketika menyadarinya. Karena Tuhan selalu baik bagi kita.


Untuk Mendownload Versi E-book kamu bisa Download Disini
Kalau bingung, silahkan Japri Admin Melalui LinkWA Disini  
 

Kesaksian Hidup - My Precious Life (Bag 1 - Hidup Karena Anugerah)

My Precious Life - Selvi Pritawati Sudarlin
My Precious Life - Selvi Pritawati Sudarlin
Disadur dari Buku "My Precious Life" oleh Selvi Pritawati Sudarlin. 
Editor : Lamsihar Iruel

"Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." (Mazmur 139:14)

Kalau ada yang bertanya: "siapa yang mau lahir sebagai seorang yang cacat?" sudah jelas jawabannya "TIDAK"  semua orang ingin lahir dengan fisik yang sehat, semua ingin terlahir dengan hidup yang bahagia, berkecukupan dan tanpa ada air mata.


Namun hidup tidak bisa di atur orang sesuai dengan keinginannya sendiri.  Karena hidup milik Tuhan yang menciptakan manusia, Dialah yang berkuasa atas segala kehidupan.


Semua orang tentu saja mempunyai kisah hidup. Tapi ada banyak orang yang lari dari kehidupan karena kecewa dengan kisah hidup mereka yang tidak sesuai dengan keinginan hati mereka. Itu termasuk saya sendiri, yang pernah mengalami kekecewaan dalam hidup. Saya merasa bahwa hidup yang saya jalani tidak lebih dari kesedihan, penderitaan, kesakitan dan penolakan. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena hidup yang saya jalani jauh dari kata indah. Namun akhirnya saya mengerti bahwa rancangan Tuhan itu baik buat hidup saya, dalam semuanya ini Tuhan ingin bahwa kisah hidup saya menjadi penghiburan bagi
bahwa kisah hidup saya menjadi penghiburan bagi banyak orang yang sedang mengalami kekecewaan dalam hidup. Saya sendiri sungguh bersyukur untuk apa yang telah Tuhan kerjakan dan hidup saya.
Inilah kisah ku.


Selvi Pritawati Sudarlin
21 April 1990 aku terlahir ke dunia ini, aku adalah bayi perempuan yang cantik, sehat dan harta terindah yang di nantikan kedua orang tua ku yang kala itu telah kehilangan kedua anak mereka ketika mereka masih bayi. Melihat ku terlahir dengan sempurna merupakan penghiburan yang luar biasa buat mereka. Dan hanya kebahagiaan yang memenuhi hati mereka kala itu. Kisah kebahagiaan itu sebenarnya adalah awal dari kisah perjuangan hidup yang panjang dan melelahkan.. Bayi perempuan cantik ini pun mereka beri nama Selvy Pritawati Sudarlin. Nama seorang wanita yang mereka harapkan bisa menjadi wanita hebat dan tegar.
Aku lahir di desa belibi. Sebuah desa kecil di kalimantan tengah. Desa yang jauh dari kata modren. Tak ada rumah sakit dan fasilitas lainnya.


Saat itu papa sedang menantikan SK sebagai seorang
Saat itu papa sedang menantikan SK sebagai seorang guru SD, dan masih mencoba bekerja di sebuah perusahaan kayu milik korea waktu itu. Dan mama hanya ibu rumah tangga biasa. Namun impian mereka besar untuk hidup ini. Mereka ingin yang terbaik untuk hidup ini.
Namun, di tengah impian Indah itu, badai jahat datang dan meniup mimpi itu jauh-jauh.


Di usia 8 hari lahirku, ada yang aneh dengan keadaan ku. Dari pagi hari di atas bibirku membiru, lalu kemudian menyebar keseluruh tubuhku, aku pun di serang kejang-kejang. Kemudian menangis, mama berkisah, keadaan ku terus begitu. Hingga akhirnya tak lagi bernafas selama kurang lebih 1 hari 1 malam. Semua orang yang berada di sana saat itu setuju bahwa bayi perempuan cantik itu telah mati. 


Doa penyerahan pun mulai di ucapkan. Gong tanda kematian mulai dipukul agar seluruh warga desa tahu bahwa ada duka di desa mereka. Kesedihan datang lagi dalam hidup orang tuaku. Baru sekejap rasa bahagia mereka karena mendapat dan menimang si buah hati, mereka harus kembali berduka dan hancur hati karena kehilangan dan kehilangan lagi. Hidup rasanya benar-benar tidak adil bagi mereka. Di tengah duka itu mereka telah kehilangan harapan.

Air mata tak lagi mampu menggambarkan kesedihan itu hanya bisa pasrah. Karena dengan menangis pun tak dapat membuat bayi mereka kembali bernafas. Kakek ku sangat sedih, karena cucu perempuan pertamanya sudah tiada. Saat itu semua hanya dikuasai oleh kesedihan.


Namun ada sesuatu yang tidak terduga terjadi pada saat itu. Entah apakah pintu Surga itu masih tertutup untuk ku, entah apakah aku belum pantas menikmati Surga, entahlah...
Namun saat itu aku tiba-tiba saja menangis, dan hidup kembali. Dan mama langsung menyusui ku. Senyum pengharapan kembali hadir di bibir mama dan papa.


Ya, aku hidup kembali tapi dengan keadaan yang berbeda, aku yang tadinya adalah bayi montok yang cantik, berubah menjadi seperti bayi monyet. Badanku menyusut dan kurus. Sampai-sampai mama takut melihat keadaan ku yang seperti itu. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi pada ku saat Itu. Karena di desa kecil yang terpencil seperti itu tak ada dokter spealis, atau pun rumah sakit hebat seperti di kota, yang ada hanyalah mantri atau perawat yang hanya menolong sebisanya saja. 


Bukan sengaja membiarkan keadaan ku seperti itu. Tapi apa yang bisa dibuat pada saat sulit seperti itu? Untuk bisa makan saja mama dan papa harus bantng tulang dan bekerja keras. 


Untuk beberapa waktu kondisi ku dibiarkan seperti itu, karena memang keadaan yang serba sulit saat itu.. Keadaan ku seperti mayat hidup, hanya bisa menangis, tubuh ku yang kaku membuat ku tidak bisa bergerak. Aku tak seperti bayi-bayi lainnya.


Berhari-hari mama dan papaku terus memantau keadaan ku, namun tak ada perubahan tanda perkembangan motorikku. Aku hanya bisa berbaring dengan tubuh ku yang kaku.
Berbulan-bulan terus begitu tak juga ada perkembangan seperti bayi berumur 4 atau 5 bulan pada umumnya yang sudah bisa memegang mainan. Namun tidak, tangan dan kakiku selalu dalam keadaan yang keras dan kaku. Yang aku bisa hanyalah menangis, menangis dan menangis.


Sebagai seorang ibu mama bertanya-tanya dengan hati yang hancur, "apa salahku? Kenapa ini terjadi pada ku?" saat itu mama benar-benar kecewa pada Tuhan, selama 1 tahun mama tidak mau ke gereja. Mama benar-benar menutup diri dari lingkungan sekitar. Karena beban itu dirasanya terlalu berat.


Tak hanya itu orang tuaku harus menerima pengucilan dari keluarga, seolah sendiri tak ada yang peduli. Entah mengapa saat itu orang tuaku di suruh untuk segera pindah dari rumah kakekku. Ada yang mengasut, tapi sampai hari ini aku masih tidak mengerti mengapa mereka bersikap demikian pada orang tuaku.  Hidup benar-benar tidak berpihak pada kami. Jangankan memberi bantuan materi ataupun sekedar memberi dorogan semangat.


Orang tuaku malah mendapatkan penghinaan dan direndahkan, serendah-rendahnya. Pernah suatu kali salah seorang dari mereka datang ke rumah kami, berkata sambil bertawa, "anakmu ini tidak waras,. Kalau aku jadi kamu, sudah aku buang ke sungai." dia tertawa dan pergi meninggalkan mamaku. Hati seorang ibu yang mana yang tahan dengan perkataan seperti itu? 

Saat itu papa dan mama pindah ke sebuah pondok kecil yang hanya berdinding kulit kayu, kalau zaman sekarang mungkin lebih cocok untuk kandang ayam. Sebuah pondok yang jauh dari kata layak untuk menjadi tempat tinggal. Namun di situlah papa dan mama merawatku. 


Tidak mudah hidup menjadi orang miskin, apalagi dengan keadaan anak yang sakit. Kadang mereka tidak punya beras untuk makan, tapi mereka tidak diam berpangku tangan,  papa mencari ke hutan, apa pun yang bisa di makan, rebung, singkong dan daunnya, untuk lauk papa mencarinya di sungai dengan memancing atau pun menjala,. Yang penting bisa untuk menyambung hidup hari ke sehari. Hidup kami benar-benar hanya karena anugerah Tuhan saja.
Aku yang masih bayipun mau tidak mau hanya makan singkong rebus saja. Tapi mama bercerita pada ku aku lahap sekali memakannya. 


Papaku seorang yang gigih berjuang mencari uang, apa pun pekerjaannya papaku lakukan. Semua itu untuk membawaku ke Pangkalan Bun untuk berobat. Termasuk menjadi tukang bangunan, membuat rumah orang, walau kadang dicurangi dengan dibayar tidak sesusai dengan perjanjian. Namun papa tidak menyerah, semua demi aku.


Papa selalu berharap agar SK nya cepat keluar dan cepat bekerja sehingga cepat mendapatkan dan cepat bekerja sehingga cepat mendapatkan gaji agar bisa membawa ku berobat ke RS di kota Pangkalan Bun. Namun saat itu nasib seolah di permainkan orang. Sering kali papa di suruh untuk memperbaharui berkasnya. Dan SK itu belum juga di keluarkan. Setelah  Lama sekali SK itu di keluarkan, akhirnya papa mendapatkannya juga, dan papa bekerja sebagai seorang guru SD di desa Bayat. Namun ternyata gaji guru kala itu sangat kecil, papa hanya mendapatkan gaji sebesar RP 60.000 saja setiap bulannya. Dan dengan uang yang seadanya itulah mama dan papa membawa ku kota Pangkalan Bun dengan harapan bahwa buah hati mereka bisa di sembuhkan. Ketika sampai di Pangkalan Bun, saat itu mereka tidak punya kendaraan, ingin naik ojek atau angkot pun uang mereka tidak cukup, belum lagi untuk makan dan minum selama berada di Pangkalan Bun, tentunya tidak sedikit. Untuk mencapai rumah sakit, mereka hanya berjalan kaki. Sambil bergantian menggendongku. Walau melelahkan mereka terus berjalan.


Dan akhirnya mereka pun sampai di rumah sakit, kebetulan saat itu ada dokter ahli saraf  yang berasal dari Pakistan ( saya tidak tahu nama dokter itu) setelah menjalani pemeriksaan akhirnya aku pun di vonis terkena radang selaput otak. Otak sebelah kiri katanya rusak, dan saraf keseimbanganku tercepit, dan juga ada darah beku di otak ku, tidak hanya itu, dan juga ada darah beku di otak ku, tidak hanya itu, aku juga divonis akan mengalami kebutaan pada mata kananku di usia 10tahun . dokter itu menyarankan agar saya di terapi.


Dan entahlah, dengan keadaan ekonomi orang tuaku saat itu rasanya sangat sulit dan mustahil. Biaya obat ku saja sudah RP . 250.000 per bulannya, belum lagi kalau harus di terapi, mereka juga harus mengeluarkan uang untuk membeli keperluan hidup sehari-hari, dengan gaji papa yang hanya 60 ribu. Namun orang tua ku bukan orang yang mudah menyerah. Ketika di terapi, mereka sengaja melihat bagaimana cara terapi untuk ku, dan mereka mempelajarinya lalu mempraktekannya di rumah. Dan aku pun hanya 1 atau 2 kali saja di terapi di rumah sakit, selanjutnya mama dan papa ku yang melakukannya.

Setiap hari sebelum berangkat mengajar terlebih dahulu papa menterapiku. Supaya tangan, kaki, dan tubuh ku bisa bergerak seperti anak-anak yang lain. Hanya itu impian mereka supaya putri kecilnya bisa sembuh, sehingga bisa bermain seperti anakanak yang lain yang tidak harus merasakan sakitnya penderitaan. Di tengah kesendirian dan pengucilan, serta kesulitan hidup, mereka terus merawatku, mengobati ku dengan terus bekerja keras, entah itu menjadi tukang yang membantu menyelesaikan rumah orang, atau pun menjual apa pun yang mereka punya. Karena bagi mereka putri kecil mereka adalah punya. Karena bagi mereka putri kecil mereka adalah harta yang sangat berharga dan mereka tidak mau kehilangannya. 


Orang tidak memperhitungkan kami, mama kadang pergi ke rumah orang penjual ikan atau daging, namun mereka menolak dan berkata "ikannya sudah habis" tapi kemudian datang orang lain lagi ingin membeli ikan mereka, ternyata mereka masih  mempunyai banyak ikan. Mereka takut mama tidak bisa bayar ikan itu, padahal mama membawa uang yang cukup, tapi mereka pikir mama tidak punya uangnya.
Di tengah kesulitan hidup memang pernah berpikir untuk mencari pertolongan, tapi pada siapa?  Kakek dan nenekku, ke dua orang tua dari papa dan mama juga mengalami kesulitan hidup. Di tambah lagi kakek (papa dari mama) sakit keras, dan perlu pengobatan, kakek ku terkena strok dan lumpuh separo tubuhnya. namun tidak lama kakek menderita sakit. Tuhan berkehendak lain, kakek harus pergi pulang ke rumah Bapa di surga. Waktu itu umurku baru tujuh bulan. Hati mama bertambah hancur saat itu. Karena harus kehilangan seorang ayah secepat itu. Seorang ayah yang selalu membelanya kini telah tiada. Di saat mama sangat membutuhkan kekuatan dan dukungan darinya agar mampu menghadapi semua kesulitan itu,
darinya agar mampu menghadapi semua kesulitan itu, kakek tiada lagi.


Tak ada lagi tempat bagi mama untuk mengadu sekedar mengurangi beban hidup yang berat dalam batin.
Hidup kami bagaikan tidak pernah ada. Sepertinya tidak ada lagi kasih untuk kami. Yang ada hanyalah penghinaan. Banyak ibu melarang anaknya agar tidak dekat-dekat dengan ku karena takut ketularan penyakitku. Ada juga yang tanpa perasaan berkata "anak hundin ne balang be..." (anak kalian ini gila ya) namun mama tidak peduli dengan perkataan orang lain dan terus berjuang merawatku. Saat itu mama melatih ku duduk. Dengan memakai peralatan rumah tangga yang sederhana. Mama memakai baskom, dan juga bantal-bantal untuk penyangga badanku. Leher ku tidak bisa tegak, karena sangat lemah. Keadaan seperti ini juga berlangsung lama, namun aku tetap di latih untuk bisa duduk sendiri. Walau pun setiap hari ada saja orang yang mengejek. Aku di katakan seperti ayam yang sedang bertelur. Namun bagi mama keadaan ku harus lebih baik. Setidaknya aku bisa mandiri, dan mengurangi penderitaan ku.


Hidup dalam kesedihan seperti sudah biasa kami lewati bersama, tapi semua itu tidak pernah melemahkan mama dan papa. Walau usia mereka masih muda saat itu, walau mereka hanya tahu sedikit tentang Tuhan, dan Walau mereka ditinggalkan tentang Tuhan, dan Walau mereka ditinggalkan sendirian namun impian mereka untuk mendapat hidup yang lebih baik terus mereka perjuangkan. 


Ku renungkan hidup ini hanya karena anugerah Tuhan saja. TanpaNya tidak mungkin kami sanggup menjalani kehidupan yang penuh perjuangan ini.


Aku bisa seperti sekarang ini, karena Tuhan yang menyertai perjuangan orang tuaku dalam merawatku.
Perjuangan papa dan mamaku dalam merawatku tidak bisa ku bayar dengan materi seberapa pun itu. Semua sangat mahal dan tidak mungkin lunas. 


Namun semua mereka anggap lunas, dengan kesehatanku, semangat hidupku, dan senyumanku dalam aku menjalani hidupku setiap hari. Semua itu sangat berharga bagi mereka dan mereka akan terus memperjuangkan semua itu sampai nafas terakhir berhembus.


Sampai kapan pun aku ini tidak akan bisa membalasnya.
Tak ada lagi cara untuk menghargai perjuangan orang tuaku, selain dengan semangat dan senyumanku
tuaku, selain dengan semangat dan senyumanku disetiap hari-hariku. Sampai Tuhan memanggilku. Karena semua itu adalah kekuatan hidup bagi mereka.  


Menuliskan ini sebenarnya membuat ku tidak bisa menahan air mata yang jatuh. Namun inilah hidup ku, dan aku ingin terus melanjutkan menulisnya karena aku ingin berbagi semangat hidup ku. Agar semua yang membaca kisah hidup ku bisa menerima hidup mereka dengan ucapan syukur, dan tidak mudah menyerah dalam memperjuangkannya, seberat apa pun tantangan itu. 


Percayalah Tuhan menjadikan hidup kita dahsyat dan ajaib, dan kau akan bangga ketika menyadarinya. Karena Tuhan selalu baik bagi kita.


Untuk Mendownload Versi E-book kamu bisa Download Disini
Kalau bingung, silahkan Japri Admin Melalui LinkWA Disini  
 
Show Comments

Berlangganan Sekarang